Rasa I: Amarah

logikarasa
3 min readMar 8, 2024

--

Pernahkah anda, meluangkan sejenak untuk merenungkan keberadaan sebuah rasa bernama amarah?

Amarah itu seram.

Amarah itu tidak terkontrol.

Amarah itu jahat.

Amarah itu lemah.

Amarah itu tidak menghargai.

Amarah itu memalukan.

Amarah itu, tidak boleh.

Ada orang yang secara refleks menghindari kemarahan dalam dirinya. Dipendam, entah bibitnya menjadi apa ke depannya.

Ada pula orang yang selalu mengeluarkan kemarahan dalam dirinya, galak, kata mereka.

Ada pula orang yang tidak bisa marah. Sepertinya, bila boleh jiwa yang rendah ini berpendapat, begitu kuat kerangkeng dalam jiwanya; mengikat mati keberadaan rasa bernama amarah, entah karena alasan apa.

Entah berapa puluh ratus ribu juta pandangan dan anggapan yang menghakimi rasa bernama amarah itu.

Pada akhirnya, terlupakan bahwa amarah pun adalah rasa, sama seperti sedih, bahagia, kecewa, atau diksi apapun yang digunakan dalam menggambarkan rasa seorang insan.

Anda boleh bersedih. Anda boleh bahagia. Anda boleh kecewa. Dan anda, boleh untuk marah.

Pada hakekatnya, marah adalah sebuah pertanda, sama seperti segala rasa. Pertanda bahwa anda punya penilaian terhadap apa yang seharusnya dan tidak seharusnya. Katakanlah nilai itu adalah terhadap teman, terhadap keluarga, dan terhadap diri. Anda boleh punya penilaian terhadap segala sesuatu itu yang telah diciptakan di dunia ini. Maka, anda pun boleh merasakan amarah, terhadap segala sesuatu yang telah diciptakan itu.

Ketika anda marah, anda menunjukkan kepada siapapun itu dan apapun itu; bahwa mereka akan dan telah menjadi saksi akan nilai yang anda pegang di dunia; yang apabila maknanya ditarik seluas mungkin, adalah nihil, bagi mereka yang imannya pun nihil. Maka, marahlah. Biar siapapun itu paham, bahwa anda adalah pribadi yang punya nilai.

Amarah itu seram, dan silakan pula menilai; mana yang lebih seram, memperjuangkan nilai yang anda percayai atau kehilangan nilai tersebut dalam kepasrahan?

Amarah itu tidak terkontrol, maka anda pun seharusnya menilai; ketika segala sesuatu yang ada di sekitar anda berusaha meruntuhkan nilai yang anda miliki dan anda membiarkannya; definisi lebih baik apa untuk menggambarkan hidup anda selain tidak terkontrol?

Amarah itu jahat, dan jangan berhenti menilai; jahatkah anda kepada diri anda ketika memperjuangkan nilai yang adalah sama dengan bukti eksistensi anda di antara segala sesuatu yang ada di dunia?

Amarah itu lemah, dan sekali lagi, tolong dinilai; ketika seorang memberikan segalanya untuk mempertahankan nilai yang dia miliki, bahkan melawan seluruh isi dunia — dalam hal ini dunia subjektif — , maka segala sesuatu yang kuat pun ada padanya?

Amarah itu tidak menghargai, maka, nilailah; apakah anda sungguh-sungguh dapat menghargai dunia dan segala isinya; ketika anda pun belum menghargai diri anda beserta nilai yang anda eksistensikan dengan seluruh jiwa dan raga anda?

Amarah itu memalukan; maka, malukah anda, ketika anda memperjuangkan nilai yang anda punya? Atau tidak malukah anda, ketika anda membiarkan nilai yang begitu tinggi engkau genggam, diinjak-injak begitu saja oleh segala apapun itu? Silakan pula dinilai.

Amarah itu, tidak boleh. Dan ketika anda pun direngut akan hak untuk merasakan amarah; untuk memperjuangkan nilai yang anda punya; bukankah itu definisi akan eksistensi nol? Dan bahwa meski tidak menganut nihilisme, anda pun secara tidak sadar, telah menjadi nihil?

Soal bagaimana marah itu disalurkan, itulah peer terbesar bagi seluruh insan yang memiliki nilai.

Maka, marahlah, kawan. Marah terhadap segala sesuatu yang anda nilai bagaimana seharusnya dan tidak seharusnya. Marahlah dengan segenap jiwa dan raga anda; biar segala sesuatu yang hidup dan tidak hidup, yang menyerang nilai dan eksistensi anda, di antara segala sesuatu yang nihil ini, paham; bahwa anda adalah insan yang punya nilai.

Atau, anda hanya akan menyaksikan, tenggelamnya dalam seluruh arus dunia yang bermuara pada satu hal, yaitu nihil, terjadi pada diri dan nilai anda? Jika demikian, izinkan pula saya, jiwa yang rendah ini, ikut menyambut kedatangan anda pada eksistensi nol.

Selamat datang di eksistensi nol; dan selamat tinggal, sebab jiwa yang rendah ini, yang memendam pula amarah terhadap berbagai hal yang telah diciptakan di dunia ini; pun masih berusaha, menunjukkan bahwa, nihilisme hanyalah bagi mereka yang membiarkan nihil itu menimpa hidup mereka.

Maka, sekali lagi, marahlah, kawan.

--

--